FILM DOKUMENTER KIAMAT
Sudah sejak lama saya hafal dengan istilah greenhouse effect, global warming, dan climate change. Wajar saja, karena istilah-istilah itu bukan sesuatu yang baru. Bahkan, greenhouse effect atau efek rumah kaca sudah dipopulerkan Jean Baptiste Joseph Fourier pada 1824, seorang pakar matematika dan fisika asal Prancis, hampir dua abad silam.
Kendati demikian, tak sedikit pun saya tertarik untuk mengetahui maksud istilah-istilah itu. Menurut saya, semuanya sulit dipahami dari sisi makna, tak membumi, dan tak akan bisa dicerna dengan cepat. Namun, semuanya berubah ketika saya menyaksikan film dokumenter berjudul An Inconvenient Truth (2006).
Film yang disutradarai Davis Guggenheim ini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai kampanye mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Albert Arnold Gore Jr. akan bahaya pemanasan global. Al Gore pun tak sendiri, karena di film ini dia membawa lembaga panel iklim bentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa yaitu Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).
Berdasarkan kajian IPCC, tanpa ada upaya dari masyarakat dunia dalam mengurangi emisi, diperkirakan 75-250 juta penduduk di berbagai wilayah benua Afrika akan menghadapi kelangkaan pasokan air pada 2020. Sementara itu, kelaparan akan meluas di Asia Timur, Asia Tenggara dan Asia Selatan. Dari caranya memaparkan masalah, Al Gore berhasil membuat saya bergidik membayangkan nasib bumi di masa depan.
Untuk wilayah Indonesia IPCC juga menyebutkan akan menghadapi risiko besar. Pada 2030, diprediksi akan terjadi kenaikan permukaan air laut 8-29 sentimeter. Ini artinya, Indonesia dikhawatirkan akan kehilangan sekitar 2.000 pulau kecil. Penduduk Jakarta dan kota-kota di pesisir akan kekurangan air bersih. Pada sejumlah daerah aliran sungai akan terjadi perbedaan tingkat air pasang dan surut yang kian tajam. Akibatnya, akan sering terjadi banjir sekaligus kekeringan yang mencekik kehidupan.
Tampil di sepanjang film yang berdurasi 100 menit ini, Al Gore menyajikan isu lingkungan hidup dengan gurih dan mudah dicerna orang awam. Karena cara penyampaiannya, topik tentang pemanasan global sudah tidak membosankan bagi saya. Apalagi belakangan saya tahu kalau dia sebenarnya telah menohok bangsanya sendiri. Seperti kita ketahui, AS adalah negara yang berkontribusi paling besar merusak alam. Tak kurang dari 25 persen produksi karbondioksida dunia berasal dari negara adikuasa ini.
Karena dinilai telah mencerahkan pemikiran serta memunculkan wacana tentang bahaya pemanasan global, film ini menuai banyak pujian. Ajang Academy Awards 2007 misalnya, mengganjar dengan predikat Film Dokumenter Terbaik. Film ini juga bersinar di Festival Film Cannes dan meraih 21 penghargaan bergengsi lain di berbagai ajang. Dan, puncaknya, Al Gore dan IPCC dianugerahi Nobel Perdamaian 2007.
Pemahaman saya tentang pemanasan global bertambah lagi saat mendapatkan kepingan DVD berupa film dokumenter berjudul The 11th Hour (2007). Film ini menyimpulkan bahwa manusia kini tengah berada di menit-menit terakhir dari jam terakhir hidupnya jika tak berbuat sesuatu untuk mencegah pemanasan global. “Pemanasan global merupakan sebuah kenyataan. Itu akan terjadi,” ungkap Leonardo DiCaprio yang menjadi narator film ini.
Sederetan ilmuwan dan tokoh dunia ikut berbicara dalam film besutan Nadia Conners dan Leila Conners Petersen ini, seperti Stephen Hawking dan Mikhail Gorbachev. Mereka memperkirakan titik akhir dari perubahan ekstrim iklim adalah punahnya umat manusia. Namun, mereka juga memberikan beberapa contoh hal yang dapat dilakukan untuk menghindari hal tersebut. Mulai dari perubahan sederhana bola lampu listrik hingga memilih pemimpin yang berwawasan lingkungan serta produk yang tak merusak lingkungan.
Sulit untuk mengatakan The 11th Hour adalah film yang enak ditonton. Sebaliknya, film ini sangat membosankan jika kita tak peduli betul soal pemanasan global. Terlalu banyak komentar para tokoh dan narasi serta kurang menarik secara visual adalah gambaran akan film ini. Namun, secara keseluruhan tetap menggambarkan hasil akhir yang menyeramkan dari dampak perubahan iklim.
Masih di tahun yang sama, dirilis lagi sebuah film dokumenter berjudul Earth (2007). Film besutan sutradara Alastair Fothergill dan Mark Linfield ini merupakan versi layar lebar dari serial Planet Earth yang dipadatkan dalam durasi kurang dari dua jam. Menyaksikan film ini, hanya satu kata yang terlontar: indah! Pengambilan gambar di udara, dataran beku dan berdebu, hingga dasar samudera, semuanya fantastis.
Kita diajak berwisata melihat beragam fauna di kawasan Arktik di Kutub Utara hingga Gurun Kalahari di Afrika. Dengan lama syuting mencapai lima tahun, film ini bisa menggambarkan migrasi dari keluarga hewan yang terancam punah oleh perubahan iklim. Beruang kutub yang tak lagi bisa mencari makan karena perubahan iklim yang tak diduga hingga kawanan gajah yang harus berjalan berminggu-minggu mencari seceruk air di padang nan gersang.
Pesan yang ingin disampaikan tetap sama. Akibat ulah manusia yang menerabas hutan tanpa aturan serta serapan air tanah yang tak terkendali, membuat alam tak lagi seimbang. Hutan tropis untuk menetralkan polusi tak lagi bisa diharapkan, sedangkan oase di tengah gurun makin sulit ditemukan.
Menyaksikan film ini kita disadarkan betapa selama ini manusia lupa kalau dia berbagi kehidupan di atas bumi dengan berbagai flora dan fauna. Sayang, kearifan yang tak dimiliki manusia turut merusak ekosistem flora dan fauna itu. Tercatat sebagai film dokumenter dengan biaya pembuatan tertinggi saat ini (lebih dari US$ 40 juta), Earth memang sangat sayang untuk dilewatkan.
Di awal 2009, sebuah film dokumenter tentang pemanasan global menambah lagi koleksi film di rak DVD saya. Film itu berjudul Home, hasil karya Yann Arthus-Bertrand, tokoh perfilman Prancis yang baru pertama kali mengambil peran sebagai sutradara. Tak jauh berbeda dengan Earth, film ini sebagian besar mengambil gambar dari udara.
Melalui film ini kita diajak berwisata ke 54 negara. Melalui gambar-gambar yang jernih, film ini berhasil memperlihatkan betapa tangan manusia telah membuat bumi tak lagi menjadi “surga” sebagaimana belum dijamah manusia. Pesatnya perkembangan industri telah membuat kulit bumi tergerus jauh ke dalam dan meninggalkan bukit, lembah, serta dataran yang bopeng tak berbentuk.
Di salah satu bagian dunia, kota-kota megapolitan hadir dengan bangunan-bangunan yang membuat banyak orang berdecak kagum. Mulai dari New York, Tokyo, hingga Dubai, saling berlomba membuat tangga menuju batas langit. Untuk membuat semua itu, dibutuhkan baja, semen, batubara, minyak, pasir dan kandungan mineral lainnya dalam jumlah tak pernah terbayangkan.
Sedangkan di belahan dunia lain, hadirnya megapolitan itu harus dibayar mahal dengan berubahnya ekosistem. Banyaknya sumber daya alam yang berpindah tempat untuk membangun menara pencakar langit di berbagai kota, telah menciptakan kerusakan yang tak tersembuhkan. Menyaksikan lanskap-lanskap di lima benua dalam film ini menciptakan kengerian dalam pikiran saya. Bumi ternyata tak lagi menjadi rumah yang nyaman.
Dari empat film di atas, saya menjadi bertanya pada diri sendiri; sampai kapan bumi bisa bertahan dari sifat rakus manusia dan apa yang akan terjadi jika bumi tak kuat lagi menanggung beban itu? Jawaban itu datang ketika pekan lalu saya masuk gedung bioskop dan menyaksikan karya Roland Emmerich berjudul 2012.
Meski Emmerich dikenal suka sekali menghancurkan kota-kota dan membuat manusia berlarian karena panik dalam beberapa film hasil karyanya, baru kali ini dia benar-benar menjadi perbincangan. Jauh dari perkiraan awal saya, Emmerich ternyata tidak banyak menyandarkan filmnya terhadap ramalan akan kiamat pada 21 Desember 2012 berdasarkan kalender Suku Maya itu. Ramalan itu hanya menjadi cantelan bagi film ini, dan tak lebih.
Emmerich tetap saja lebih suka “mengganggu” penontonnya dengan gambaran kehancuran demi kehancuran yang dialami oleh bumi serta beberapa manusia pilihan yang dibiarkan tetap hidup. Tidak ada yang baru sebenarnya dari penggambaran kehancuran dari kacamata Emmerich. Bumi bukanlah benda yang diam. Dia bisa berubah marah dan sulit dikendalikan dengan teknologi secanggih apa pun jika sudah tak kuat menanggung beban dosa manusia.
Pada akhirnya saya berpikir, tak perlu menunggu ramalan Suku Maya atau Nostradamus akan kiamat menjadi kenyataan. Kita juga tak perlu sibuk berdebat tentang benar atau tidaknya ramalan itu. Tanpa diramal pun, bumi ternyata memang tengah diambang kehancuran. Bukan ramalan yang membuat bumi tak kuat bertahan, sifat rakus manusia yang akhirnya membuat kiamat datang sebelum waktu yang telah ditetapkan Sang Pencipta.
Tanda-tanda ke arah itu hampir setiap hari datang ke hadapan kita. Lempeng bumi yang kini begitu suka bergoyang, musim hujan dan kemarau yang tak lagi mengikuti hukum alam, banjir di daerah kering dan kekeringan di pusat mata air. Hebatnya, semua yang terjadi saat ini sudah dituliskan Joseph Fourier dua abad silam. Sayang, manusia selalu alpa.
Sungguh memalukan kalau bumi akhirnya hancur karena kecerdasan manusia yang tak memiliki kearifan. Udara bersih, tanah yang subur, hingga kekayaan flora dan fauna kini hanya bernilai setumpuk uang. Organisasi pencinta lingkungan Greenpeace dengan jelas melukiskan hal itu dalam slogannya; When the last tree is cut, the last river poisoned, and the last fish dead, we will discover that we can’t eat money. Mungkin, hanya kiamat itu sendiri yang bisa menyadarkan manusia.***
(Salinan tulisan RINALDO/Blog liputan 6)
0 komentar:
Posting Komentar
Pengguna anonim bebas berkomentar,tapi "Maaf" semua komentar memerlukan persetujuan untuk diterbitkan.